Pengabdian Tanpa Batas
Jejak Kartini
menggulirkan semangat emansipasi wanita ternyata masih menggema hingga detik
ini. Tak ada istilah berhenti berjuang apalagi mundur hanya karena situasi dan kondisi
yang tidak mendukung. Itulah yang dialami Wahyu Hasanah, perempuan kelahiran
Yogyakarta, 25 Maret 1981. Perjuangan panjangnya merubah wajah kampung
Sidomulyo tidaklah sia-sia, meskipun semua proses harus dilaluinya dengan
tetesan darah, keringat, air mata, pengorbanan waktu, tenaga, pikiran bahkan materi
yang bisa dibilang tidak sedikit terlebih bagi Wahyu, seorang Penyuluh Agama
Islam non PNS Kementerian Agama DIY. Namun berkat dukungan keluarga yang begitu
kuat dari sang suami sebagai pendamping hidup, semua ikhtiar yang
diperjuangkannya pelan tapi pasti menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik
dan mulai menampakkan hasil nyata.
Tahun 2008, Wahyu mulai
tergelitik dengan kondisi kampungnya yang kian hari kian meresahkan. Sebuah
kampung yang saat itu lekat dengan stigma negatif dengan rentetan problematika
sosial. Pasalnya berbagai kasus, lalu lalang hinggap mewarnai kehidupan
warganya. Mulai dari pelecehan seksual, penelantaran anak, pernikahan dini,
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), judi, tawuran hingga pembunuhan. Wahyu
mengaku, nuraninya sangat terusik, terlebih saat menyaksikan sendiri adanya
tindak kejahatan penyiksaan anak yang berujung pada kematian.
Perjuangan Wahyu yang dimulai
tahun 2008 hingga tahun 2012, bisa dibilang belum menampakkan hasil. Ketulusan
hati untuk membantu warganya keluar dari kesulitan ekonomi dengan memberikan
mereka modal usaha ternyata tidak selalu disambut positif. Bahkan ada yang tega
memperalatnya, setelah mendapatkan modal mereka pergi tanpa meninggalkan pesan.
Namun ibu dua anak ini mengaku pasrah dan ikhlas dengan keadaan yang dialaminya
saat itu.
Kejadian yang bertubi-tubi,
sempat membuat Wahyu merasa tertipu dan tersudut. Bahkan ia merasa putus asa
karena usaha yang dilakukannya tidak berbuah manis seperti harapannya. Niatnya
untuk memperjuangkan kampung Sidomulyo sempat stagnan karena tidak mendapat dukungan
dari warga masyarakat. Uang habis dan tak ada hasil, itulah yang membuat Wahyu
sempat shock dan jatuh sakit. Berhari-hari keluarganya mengalami kesulitan
hanya untuk sekedar membeli makanan. Sempat terpikir untuk meminta kembali uang
yang dia berikan, namun suaminya mencegah. Biarlah tangan-tangan Allah yang
bergerak memberikan pertolongan.
Benar saja, suatu hari secara kebetulan, sang
suami secara tidak sengaja menemukan seekor kura-kura di jalan. Lalu ia pungut
dan dibawanya pulang, berniat mau mengembalikan tapi tidak tahu siapa
pemiliknya. Selang beberapa hari, ia pun mendapatkan kabar bahwa seekor
kura-kura pemilik Waroeng Spesial Sambal “SS” telah hilang. Mendengar hal
tersebut, suami Wahyu bersama temannya berniat mengembalikan kura-kura kepada
sang pemilik. Padahal sebelumnya, kura-kura yang ditemukannya sempat ditawar senilai
satu juta rupiah oleh seorang tak dikenal tapi ditolaknya, dengan alasan itu
bukan miliknya. Begitulah keluarga Wahyu dalam keadaan apapun selalu berusaha
menjaga amanah.
Berkat kejujurannya,
tak disangka usai mengembalikan kura-kura kepada sang pemilik, suami Wahyu
mendapatkan uang tunai senilai lima juta rupiah. Kaget sekaligus tak percaya,
di tangan suaminya digenggam ampol putih berisi uang tunai dengan nominal
melebihi yang ia berikan kepada orang-orang. Sungguh, Allah tidak tidur. Lewat
tangan pemilik kura-kura uang yang dengan ikhlas ia berikan akhirnya dikembalikan
Allah dengan cara yang tak terduga sebelumnya. Subahanallah. Dari sinilah keyakinan
dan kepercayaan diri Wahyu berangsur pulih dan kembali normal.
Kerja belum selesai,
ikhtiar belum maksimal. Wahyu sadar, saat itu ia merasa gagal menyusun strategi
untuk membenahi warga Sidomulyo. Lagi-lagi sisi kemanusiaannya terusik. Ia pun
kembali berhasrat untuk memperbaiki ekonomi warganya, kali ini dengan strategi
yang berbeda. Usai memberikan pinjaman, ia pun rajin memantau perkembangan
warganya dari usaha yang mereka lakukan. Hingga akhirnya mereka benar-benar
bisa mandiri, hidup tidak tergantung kepada orang lain. Begitulah, kedekatannya
dengan warga Sidomulyo semakin akrab, membuat masyarakat semakin tergugah untuk
pelan-pelan melakukan perubahan.
Terlebih saat Wahyu
berhasil menemukan warganya yang hilang karena kasus penculikan anak. Di
sinilah, kepercayaan masyarakat akan keseriusan Wahyu menyelesaikan berbagai
persoalan warga Sidomulyo mulai muncul perlahan. Mereka mulai peduli dan
bersimpati dengan perjuangan Wahyu. Pendekatan ke wargapun mulai menampakkan
hasil nyata. Dengan pemetaan dan pendataan kekuatan warga, Wahyu mulai berbenah
menyusun strategi untuk perbaikan ke arah yang lebih serius.
Berbagai kegiatan
kampung yang sudah ada secara intens mulai digiatkan kembali. Lewat program
PAUD, pengajian umum, TPA, PKK, yandu balita, karang taruna, kesenian dan
sebagainya menjadi titik awal untuk langkah yang lebih pasti.
Program yang digulirkan
Wahyu hingga menghantarkannya sebagai Penyuluh Teladan Nasional 2019 adalah
GEMATI. Gerakan Edukasi melalui Tiga Intervensi. Pendekatan remaja melalui
GEMATI ini ternyata membuahkan hasil. Ada tiga program yang digulirkan yakni
menjalin komunikasi dengan anak remaja dan orang tua (sopo dulur), pembuatan jadwal keseharian, dan menyusun program
melalui pohoh harapan. Menanamkan harapan kepada anak remaja hingga mencapai
cita-cita dan harapan. Termasuk memulihkan trauma
healing kepada remaja hingga akhirnya mulai tumbuh rasa percaya diri.
Selain itu, membuat
jalinan kerjasama dengan berbagai pihak terkait sepert dinas sosial kota
Yogyakarta, BKKBN, Baznas Kota, dan DPPM DPA Kota Yogyakarta terus diupayakan
dalam rangka mensukseskan berbagai program. Berkat dukungan semua pihak,
program GEMATI akhirnya menuai hasil yang menggembirakan. Pencapaian program
GEMATI ini pun mulai mewarnai suasana kampung Sidomulyo dan label sebagai
kampung hitam pun perlahan mulai sirna terlebih setelah berbagai pembuktian
akan keseriusan warga Sidomulyo keluar dari berbagai permasalahan sosial.
Perjuangan panjangnya
ternyata membuahkan hasil, Rabu (21/08/2019) malam Wahyu Hasanah mendapatkan
bergengsi dalam penghargaan Anugerah Penyuluh Agama Islam Teladan Non PNS yang
digelar di Jakarta. Meskipun sejatinya bukan itu yang ia cari namun setidaknya
sebagai pembuktian bahwa kerja kerasnya selama ini diakui oleh pemerintah
khususnya Kementerian Agama Republik Indonesia. Tidak berhenti sampai di situ,
pengabdian tanpa batas terus digemakannya. Saat ini ia membuat program baru
“Bank Data” sebagai upaya untuk menyelamatkan data keluarga di wilayah
Sidomulyo.
Layak jika sosok
perempuan seperti Wahyu Hasanah mendapatkan apresiasi yang setinggi-tingginya, terlebih
dengan statusnya yang masih non PNS namun mampu merubah wajah masyarakat
kampung Sidomulyo. Kerja keras, perjuangan, dan dedikasinya dengan penuh
keikhlasan untuk negeri patut diajungi jempol. Kini berkah tersebut telah
dituainya. Berbagai undangan untuk berbagi ilmu dan pengalaman datang silih
berganti dari berbagai pihak. Namun Wahyu tetaplah Wahyu, hasratnya untuk
selalu berbagi rezeki dengan warga masyarakat Sidomulyo tidak pernah padam. Itulah
sebabnya sosok penuh kharismatik ini selalu disayangi warganya.
Wahyu sadar sepenuh
hati, keberhasilan yang dituainya bukan hasil kerjanya sendiri namun karena
dukungan berbagai elemen termasuk masyarakat sekitar. Tanpa gayung bersambut,
usahanya akan sia-sia karena sehebat apapun manusia tetaplah makhluk sosial
yang membutuhkan uluran tangan orang lain.
Beruntung Kementerian
Agama memilikinya, pengabdian tanpa batas harus mampu dijadikan teladan bagi
segenap Aparatur Sipil Negara khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kerja
bukan semata-mata sekedar mengisi waktu luang, namun kerja adalah ibadah, investasi
akherat. Karena sesungguhnya, dalam bekerja itulah saat yang paling tepat untuk
mengumpulkan amal kebaikan.
Berpijak pada apa yang
dilakukan Wahyu, ada baiknya kita melakukan introspeksi diri untuk segera
berbenah ke arah yang lebih baik. Mungkin kiprah kita tak akan sehebat Wahyu
namun setidaknya apa yang kita lakukan mampu membawa perubahan positif pada
lingkungan kerja, masyarakat sekitar
khususnya pada keluarga tercinta. Bukan untuk mendapatkan sanjungan namun lebih
pada mengajak untuk beramar makruf nahi munkar tentunya sesuai dengan kapasitas
kita sebagai makhluk sosial yang beradab dan berbudaya.
Begitu pula dengan
penulis, menyadari minimnya pengetahuan dan wawasan yang dimilikinya sehingga
berusaha untuk selalu mencari celah untuk bisa dikembangkan. Terutama dalam
kaitannya dengan kehumasan, berusaha melakukan yang terbaik semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki penulis. Berharap dengan hadirnya para
srikandi di Kementerian Agama yang memiliki kompetensi di bidangnya
masing-masing dan berdedikasi tinggi mampu turut serta mengharumkan nama
institusi yang berslogan “Ikhlas Beramal.”
0 Komentar