Biografi BJ Habibie
Pernah berpikir untuk menamai putranya dengan Habibie? Mungkin ada yang terlintas demikian. Saya rasa siapapun orangtuanya pasti punya harapan anaknya bakal memiliki kepandaian seperti Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden keempat Republik Indonesia. Pria kelahiran Pare-pare, 25 Juni 1936 ini memang mempunyai kepintaran yang luar biasa tidak hanya diakui di tingkat nasional bahkan popularitasnya jauh lebih tinggi di negara Jerman.
Masa Kecil Habibie
Habibie lahir dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA Tuti Marini Puspowardojo. Ayahnya seorang ahli pertanian berasal dari Gorontalo dan memiliki darah Bugis. Sementara ibunya seorang spesialis mata berasal dari Yogyakarta.
Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara. Habibie kecil yang biasa disapa dengan Rudy, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang religius. Bahkan ayahnya terbiasa membacakan ayat-ayat suci Alquran hingga dua juz saat Habibie masih kecil. Menurutnya, ini bisa menenangkan jiwanya.
Beliau mengaku, kebiasaan ini ternyata berdampak positif pada dirinya. Buktinya, di usia tiga tahun, Habibie sudah bisa membaca ayat suci Al Quran dengan lancar. Namun kedekatannya dengan sang ayah tak berlangsung lama. Saat Habibie masih SD, ayahnya meninggal dunia.
Masih teringat dengan jelas dalam film Ainun dan Habibie, bagaimana sang ayah menghadapNya dalam kondisi tengah menjalankan sholat fardlu berjamaah. Waktu itu ayahanda sebagai imam, dan makmumnya Habibie kecil, adiknya dan sang ibu. Tiba-tiba saat sujud ayahnya tersungkur, akhirnya Habibie maju untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai imam. Untuk menyelesaikan sholat hingga tahiyat akhir. Barulah tangisan pecah saat usai sholat. Insya Allah ayahanda Alwi Abdul Jalil Habibie meninggal dalam keadaan husnul khotimah.
***
Cerita tentang pesawat, Habibie kecil sempat menjadi saksi hidup dimana pesawat perang dunia II merusak desa yang ia tinggali bersama keluarga di Pare-pare. Pengalaman tersebut membuat Habibie kecil sempat memusuhi pesawat terbang. Namun ayahnya, sempat memberi pengertian bahwa tidak semua pesawat terbang sejahat pesawat tempur. Bahkan pesawat bisa bermanfaat saat digunakan sebagai sarana transportasi.
Habibie kecil pun akhirnya mulai tertarik dengan pesawat dan bertekad untuk belajar menciptakan pesawat. Ia berpikir dengan pesawat bisa mengunjungi sanak keluarganya yang hidup berjauhan. Habibie mewarisi darah Sulawesi-Jawa sehingga keluarganya hidup terpisah satu sama lain.
Pendidikan Habibie
Usai ditinggal sang ayah, sebagai gantinya Ibu Habibie berjuang ekstra keras untuk menanggung seluruh biaya hidup anggota keluarga. Akhirnya, mereka pindah ke Bandung setelah menjual rumah. Habibie kemudian menempuh pendidikan di SMAK Dago lalu melanjutkan kuliah ke Jurusan Teknik Mesin di Universitas Indonesia Bandung yang kini dikenal dengan nama Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun itu tak berlangsung lama.
Beasiswa dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menghantarkannya untuk melanjutkan kuliah ke Jerman tepatnya di Rhein Westfalen Aachen Technische Hochschule (RWTH) dan memilih jurusan Teknik Penerbangan. Pada tahun 1960, beliau lulus dengan predikat cumlaude dan memperoleh gelar Diploma Teknik. Kemudian lanjut ke jenjang doktoral di Jerman. Di tengah-tengah masa kuliahnya, Habibie mempersunting Hasri Hainun Besari pada tanggal 1 Mei 1962.
Selanjutnya, gelar Doktor Teknik diraihnya pada tahun 1965 dengan predikat summa cumlaude. Usai menyelesaikan kuliahnya, Habibie pun memutuskan untuk tetap tinggal di Jerman. Bahkan dia pernah bekerja di sebuah perusahaan kedirgantaraan bernama Messerschmitt-Bolkow-Blohm.
Habibie pun akhirnya kembali ke tanah air pada tahun 1973 atas permintaan Presiden Suharto. Untuk pertama kalinya beliau ditugaskan bekerja di Pertamina. Selanjutnya tahun 1976, Habibie menjadi pimpinan pertama dari PT Dirgantara Indonesia. Tahun 1978, Habibie memperoleh jabatan baru sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi hingga 20 tahun. Tahun 1998 Habibie mendampingi Suharto sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden RI.
Jabatan Habibie pun beralih menjadi Presiden RI setelah Suharto mengundurkan diri dan mengakhiri era Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998. Namun sayang jabatan itupun tak berlangsung lama hanya sekitar 1 tahun 5 bulan, durasi jabatan terpendek sebagai Presiden RI. Ada satu langkah yang diambilnya kala menjabat sebagai Presiden, yaitu keberhasilannya dalam menekan angka tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika menjadi di bawah Rp 10 ribu.
Rasa Cinta tanah air Habibie tidak diragukan lagi. Saat negara membutuhkannya dengan serta merta langsung menyambutnya hingga rela menolak gelar profesor dari almamaternya di negara tersebut. Alasannya, karena gelar tersebut bakal mempersulit jalannya kembali ke Indonesia. Sosoknya patut menjadi teladan, terlebih dalam kegigihannya menuntut ilmu dan rasa cinta tanah air.
Sumber: inspiraloka
Sumber: inspiraloka
0 Komentar